Fotografi jalanan (street photography) adalah seni menangkap momen spontan kehidupan publik. Namun, gairah untuk mengabadikan realitas seringkali berbenturan dengan hak privasi dan batasan hukum. Di Indonesia, meskipun ruang publik sering dianggap “bebas” untuk memotret, ada garis hukum tipis yang harus dipahami oleh setiap fotografer jalanan.

I. Ruang Publik vs. Hak Privasi: Dimana Batasnya?

Secara umum, memotret di ruang publik—seperti jalan raya, taman, atau alun-alun—diperbolehkan dan bukan merupakan tindakan ilegal, asalkan tidak ada tanda larangan yang jelas. Namun, masalah muncul ketika objek foto adalah individu yang memiliki hak atas privasinya.

A. Konsep Hak Atas Privasi

Hukum Indonesia, terutama dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), menjamin hak setiap orang untuk tidak diganggu.

Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Meskipun memotret di jalanan adalah legal, menyalahgunakan hasil foto untuk tujuan komersial atau merugikan objek foto tanpa izin bisa melanggar hak privasi dan hak moral.

II. Batasan Hukum Utama bagi Street Photographer

Ada dua undang-undang utama yang wajib dipahami oleh street photographer di Indonesia:

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta)

UU Hak Cipta melindungi karya fotografi sebagai ciptaan. Namun, isu yang lebih relevan bagi street photography adalah penggunaan potret orang lain.

  • Hak Moral (Pasal 12): Fotografer memegang hak moral atas karyanya.
  • Hak Ekonomi (Pasal 89): Potret seseorang tidak boleh dipublikasikan atau digunakan untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari orang yang dipotret, atau ahli warisnya (jika yang dipotret sudah meninggal).

Penting: Jika foto hanya untuk kepentingan jurnalistik atau pameran non-komersial, penggunaan izin mungkin lebih fleksibel. Namun, jika foto tersebut dijual, dijadikan stock photo, atau digunakan untuk iklan, izin mutlak diperlukan.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua UU ITE (UU ITE)

Meskipun lebih fokus pada informasi dan transaksi elektronik, UU ITE dapat menjerat fotografer jika hasil fotonya:

  • Mengandung Konten Asusila: Memotret orang dalam keadaan tidak senonoh atau memalukan.
  • Pencemaran Nama Baik: Menggunakan foto dengan caption atau konteks yang mencemarkan nama baik objek foto.

III. Fotografi di Lokasi Privat dan Obyek Khusus

A. Lokasi Privat yang Terlihat dari Publik

Memotret ke dalam rumah atau properti pribadi dari luar (meskipun dari jalan umum) berpotensi melanggar privasi, terutama jika menghasilkan foto yang detail dan invasif.

B. Obyek Vital Nasional

Memotret fasilitas militer, bandara, instalasi listrik, atau obyek vital lainnya dapat dianggap melanggar hukum keamanan negara dan wajib dihindari tanpa izin resmi.

IV. Prinsip Etika sebagai Perlindungan Hukum Terbaik

Batasan hukum seringkali ambigu. Oleh karena itu, prinsip etika adalah garis pertahanan terbaik bagi street photographer:

  1. Bertujuan Non-Komersial: Jika memotret hanya untuk kepentingan seni pribadi atau dokumentasi non-komersial, risiko hukumnya lebih rendah.
  2. Menjaga Martabat: Jangan memotret seseorang dalam situasi yang merendahkan, memalukan, atau rentan.
  3. Meminta Izin (Jika Memungkinkan): Meskipun sulit dilakukan dalam momen spontan, jika objek foto sadar bahwa ia difoto, berinteraksi dan meminta izin (atau setidaknya berterima kasih) akan memperkecil kemungkinan tuntutan di kemudian hari.
  4. Hormati Keberatan: Jika seseorang secara tegas keberatan atau meminta fotonya dihapus, street photographer yang beretika harus menghormati permintaan tersebut.

Kesimpulan

Seorang street photographer adalah penangkap kisah visual. Di Indonesia, ia memiliki kebebasan untuk memotret kehidupan di ruang publik. Namun, kebebasan ini wajib diimbangi dengan tanggung jawab untuk menghormati hak privasi dan martabat individu. Selama foto tidak digunakan untuk tujuan komersial tanpa izin, dan tidak merusak nama baik, sang fotografer umumnya berada di jalur yang aman.